PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan dinamika era globalisasi
khususnya dinamika Keislaman yang kian kini semakin mengalami berbagai macam
persoalan baik dari segi persaingan perbankan yang kian kemari semakin banyak
dan semakin berkompetensi khususnya dalam dunia hokum maka hal ini telah
mendorong terus meningkat dan semakin kompleknya tuntutan yang mesti dilakukan
khususnya bagi lembaga lembaga perbankan terlebih bagi lembaga lembaga
perbankan yang kurang memenuhi standar kapabelitas dan profesionalitas civitas
akademik / keilmuan .Maka dari semua itu tuntutan terhadap penyiapan sumber
daya manusia yang handal sungguh sangat dtuntut sebagi sarana penyeimbang arus
global yang semakin memanas.
Islam
adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan
manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam
dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik
manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan
sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan
kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks islam selain penguatan
paradigma, prespektif diskripsi perbankan yang handal dan kompeten sungguh
sangat diperlukan sehingga seorang nasabah akan mampu memandang kedepan tentang
tantangan dan tuntutan yang mesti ia persiapkan.Dalam rangka itulah makalah ‘’
Ekonomi Syariah : Dalam Tinjauan Islam ‘’ diharapkan membantu pemahaman tentang
ekonomi islam itu sendiri dan juga diharapkan dengan makalah ini akan semakin
memperkaya prespektif dan khazanah keilmuan tentang dunia perekonomian juga
realitas kehidupan perbankan secara luas.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ekonomi dalam Islam ?
2. Macam-macam konsep perekonomian dalam Islam ?
3. Hikmah-hikmah
konsep perekonomian dalam Islam ?
C. Manfaat
Kita dapat memahami apa itu sistem
perekonomian dalam Islam , macam-macam konsep perekonomian dalam Islam , dan
hikmah-hikmah konsep perekonomian Islam dalam kehidupan sehari-hari.
D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan makalah ini antara lain :
1. Sebagai bentuk
penyelesaian tugas mata pelajaran Fiqih kelas X-6.
2. Untuk menjelaskan
macam-macam konsep perekonomian dalam Islam dan hikmah-hikmahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
EKONOMI
DALAM ISLAM
A. Pengertian Ekonomi
Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari
perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam
dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun
Islam.Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya,
sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
“Dan
katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang
beriman akan melihat pekerjaan itu”.
Karena
kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:
“Barang
siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu
ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi).
Pengertian
ekonomi Islam menurut istilah
(terminologi) terdapat beberapa pengertian menurut beberapa ahli ekonomi Islam
sebagai berikut :
1. Yusuf Qardhawi memberikan pengertian
ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik
tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang
tidak lepas dari syari’at Allah.
2. M.A. Mannan memberikan pengertian Ekonomi
Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah
ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
3. M. Syauqi Al-Faujani memberikan pengertian
ekonomi Islam dengan segala aktivitas perekonomian beserta aturan-aturannya
yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang ekonomi.
4. Monzer Kahf
memberikan pengertian ekonomi Islam dengan kajian tentang proses dan
penangguhan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan
konsumsi dalam masyarakat muslim.
Dari
pengertian-pengertian itu tampaklah suatu konklusi bahwa yang dimaksud dengan
ekonomi Islam adalah segala bentuk aktivitas manusia yang menyangkut persoalan
harta kekayaan, baik dalam sektor produksi, distribusi maupun konsumsi yang
didasarkan pada praktek-praktek ajaran Islam. Walaupun perlu juga diperhatikan
apa yang disebut dengan ilmu ekonomi sebagai suatu sains murni dan ekonomi
sebagai suatu sistem. Karena itu perlu diperhatikan, sekalipun ilmu ekonomi dan
sistem ekonomi masing-masing membahas tentang ekonomi, akan tetapi ilmu ekonomi
dan sistem ekonomi itu merupakan dua hal yang berbeda sama sekali .
B. Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system
Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta
menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya.
Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai
kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama
Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang
menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia,
yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa
menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat.
Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya).
Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas
mencaku p lima jaminan dasar:
a) keselamatan keyakinan agama ( al din)
b) kesalamatan jiwa (al nafs)
c) keselamatan akal (al aql)
d) keselamatan keluarga dan keturunan (al
nasl)
e) keselamatan harta benda (al mal)
C. Prinsip Ekonomi Dalam Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki
beberapa prinsip dasar:
1) Berbagai sumber daya dipandang sebagai
pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2) Islam mengakui pemilikan pribadi dalam
batas-batas tertentu.
3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam
adalah kerja sama.
4) Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi
kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja
5) Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat
dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6) Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt
dan hari penentuan di akhirat nanti.
7) Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang
telah memenuhi batas (nisab)
8) Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Karena
kajian ilmu ekonomi terfokus kepada mekanisme (teknis) berproduksi, distribusi
dan konsumsi, sedangkan pembahasan sistem ekonomi berhubungan dengan pemikiran
(konsep) yang menjadi azas kegiatan ekonomi itu sendiri.
Menurut
Monzer Kahf setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang
memberikan landasan dan tujuannya disatu sisi dan aksioma-aksioma serta
prinsip-prinsipnya pada sisi lainnya. Oleh karena itu setiap sistem ekonomi
membuat kerangka dimana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan
sumber-sumber alam dan manusia untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan
hasil-hasil produksi itu untuk kepentingan konsumsi. Dengan demikian dalam
sistem ekonomi tidak akan pernah didapat jawaban tentang bagaimana cara
memperbanyak hasil panen (produksi), tetapi sistem ekonomi akan memberikan
jawaban tentang bagaimana cara memperoleh produksi dan mendistribusikannya
untuk dikonsumsi. Hal inilah kemungkinan yang tersirat dari hadits Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Anas R.A. sebagai berikut :
أنتم
أعلم بأمر دنياكم (رواه مسلم.
“Kalian lebih
mengetahui tentang urusan dunia kalian”
BAB III
PEMBAHASAN
KONSEP-KONSEP
PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A. Muamalah
1. Pengertian Muamalah
Muamalah merupakan bagian dari hukum
Islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum
Islam yang termasuk muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, serta usaha
perbankan dan asuransi yang islami.
Dari
pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah hanya
menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara
seseorang dengan orang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara
badan hukum yang satu dan badan hukum yang lain.
2. Asas-asas Transaksi
Ekonomi dalam Islam
Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan
cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan
kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau
akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di
bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya transaksi jual beli.
Dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada
beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’, yaitu:
1. Setiap
transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi,
kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’, misalnya
memperdagangkan barang haram. (Lihat Q. S. Al-Ma’idah, 5: 1!)
2. Syarat-syarat
transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab,
tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.
3. Setiap
transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
(Lihat Q.S. An-Nisa’ 4: 29!)
4. Islam
mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas
karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, dst. Hadis
Nabi SAW menyebutkan: ”Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung
unsur penipuan.” (H.R. Muslim)
5. Adat
kebiasaan atau ’urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh digunakan untuk
menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad
sewa-menyewa rumah.
Insya Allah jika asas-asas transaksi ekonomi
dalam Islam dilaksanakan, maka tujuan filosofis yang luhur dari sebuah
transaksi, yakni memperoleh mardatillah (keridaan Allah SWT) akan terwujud.
B. Penerapan Transaksi
Ekonomi dalam Islam
1. Jual Beli
a. Pengertian, Dasar
Hukum, dan Hukum Jual Beli
Jual beli ialah persetujuan saling mengikat
antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli
(sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
Jual beli sebagai sarana tolong menolong
sesama manusia, di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari Al-Qui’an dan Hadis.
Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang jual beli antara lain Surah Al-Baqarah,
2: 198 dan 275 serta Surah An-Nisa’ 4: 29.
b. Rukun dan Syarat
Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah
ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah
menurut syara’ (hukum Islam).
• Orang yang melaksanakan akad jual beli
(penjual dan pembeli).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual
dan pembeli adalah:
1) Berakal
2) Balig
3) Berhak menggunakan hartanya
• Sigat atau ucapan ijab dan kabul
Ulama
fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual
dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan
melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).
• Barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
antara lain:
1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang
halal
2) Barang itu ada manfaatnya
3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada
tetapi sudah tersedia di tempat lain
4) Barang itu merupakan milik si penjual atau
di bawah kekuasaannya
5) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak
penjual dan pembeli dengan jelas
• Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman
modern sekarang ini berupa uang)
Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang
dijual adalah:
1) Harga jual yang disepakati penjual dan
pembeli harus jelas jumlahnya.
2) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan
pada waktu transaksi jual beli.
3) Apabila jual beli dilakukan secara barter
atau Al-Muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi
berupa barang) dan tidak boleh ditukar dengan barang haram.
c. Macam-macam jual
beli
1. Jual beli yang sah
dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan
syarat-syaratnya.
2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah
(batil) yaitu jual beli yang salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi
atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan
dengan ajaran Islam).
Contoh :
a) Jual beli sesuatu yang termasuk najis,
seperti bangkai dan daging babi.
b) Jual beli air mani hewan ternak.
c) Jual beli hewan yang masih berada dalam
perut induknya (belum lahir).
d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan
dan penipuan.
3) Jual beli yang sah tetapi terlarang
(fasid).
Karena sebab-sebab lain misalnya:
a) Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang
lain.
b) Mempersulit peredaran barang.
c) Merugikan kepentingan umum.
Contoh :
1. Mencegat para pedagang yang akan menjual
barang-barangnya ke kota, dan membeli barang-barang mereka dengan harga yang
sangat murah, kemudian menjualnya di kota dengan harga yang tinggi.
2. Jual beli dengan maksud untuk ditimbun
terutama terhadap barang vital.
3. Menjual barang yang akan digunakan oleh
pembelinya untuk berbuat maksiat.
4) Menawar sesuatu barang dengan maksud hanya
untuk memengaruhi orang lain agar mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan
orang yang menawar barang tersebut adalah teman si penjual (najsyi).
5) Monopoli yaitu menimbun barang agar orang
lain tidak membeli, walaupun dengan melampaui harga pasaran.
2. Barang-barang yang
tidak boleh diperjualbelikan
1. Khamer (Minuman Keras)
Dari Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah
ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi saw keluar (menemui para sahabat)
lantas bersabda (kepada mereka), “Telah diharamkan jual beli arak.”
(Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226, Muslim III: 1206 no: 1580,
‘Aunul Ma’bud IX: 380 no: 3473, dan Nasa’i VII: 308).
2. Bangkai, Babi dan Patung
Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah saw bersabda ketika Beliau di Mekkah pada waktu penaklukan
kota Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak,
bangkai, babi dan patung.” Rasulullah saw ditanya, “Bagaimana pendapatmu
tentang lemak bangkai, karena itu dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu,
meminyaki kulit-kulit dan dijadikan penerangan lampu oleh orang-orang?” Beliau jawab, “Tidak boleh, karena haram.”
Kemudian Rasulullah saw pada waktu itu bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi,
karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka mencairkannya,
lalu menjualnya, kemudian mereka makan harganya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul
Bari IV: 424 no: 2236, Muslim III: 1207 no: 1581, Tirmidzi II: 281 no: 1315,
‘Aunul Ma’bud IX: 377 no: 3469, Ibnu Majah II: 737 no: 2167 dan Nasa’i VII:
309).
3. Anjing
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra, bahwa
Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah dukun.
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237, Muslim III: 1198 no: 1567,
‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730
no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
4. Gambar yang Bernyawa
Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika
saya berada di sisi Ibnu Abbas ra tiba-tiba datanglah kepadanya seorang
laki-laki lalu bertanya kepadanya “Ya Ibnu Abbas, dan sejatinya aku berprofesi
sebagai pelukis gambar-gambar ini.” Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, ‘Saya
tidak akan menyampaikan kepadamu melainkan apa yang saya dengan dari Rasulullah
saw. Aku mendengar Beliau bersabda, “Barang siapa yang melukis satu gambar,
maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya hingga ia meniupkan ruh padanya,
padahal ia tidak mungkin selam-lamanya meniupkan ruh padanya.” Maka laki-laki
itu berubah dengan perubahan yang besar dan wajahnya menguning. Kemudian Ibnu
Abbas berkata kepadanya, “Celaka engkau! Jika engkau membangkang dan akan tetap
meneruskan profesimu ini, maka hendaklah engkau (menggambar) pepohonan ini; dan
segala sesuatu yang tidak bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 416
no: 2225 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1670 no: 2110 dan Nasa’i
VIII: 215 secara ringkas).
5. Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa
beliau melarang menjual buah-buahan hingga nyata jadinya dan kurma hingga
sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Jawab Beliau “Berwarna
merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari
IV: 397 no: 2167).
Darinya (Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah
saw melarang menjual buah-buahan sebelum sempurna. Kemudian Beliau ditanya,
“Apa (tanda) sempurnanya?” Beliau menjawab, “Hingga berwarna merah.” Kemudian
Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana pendapatmu apabila Allah menghalangi buah
itu untuk menjadi sempurna, maka dengan alasan apakah seorang di antara kamu
akan mengambil harta saudaranya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no:
2198 dan lafadz ini milik Imam Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i
VII: 264).
6. Biji-Bijian yang Belum Mengeras
“Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw
melarang menjual buah kurma hingga nyata jadinya, dan (melarang) menjual gandum
hingga berisi serta selamat dari hama; Beliau melarang penjualnya dan
pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917, Muslim III: 1165 no: 1535,
‘Aunul Ma’bud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi II: 348 no: 1245 dan Nasa’i VII: 270).
2. Khiyar
a. Pengertian Khiyar
Khiyar
ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya
atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang.
b. Macam-macam bentuk
khiyar
·
Khiyar Majlis
Artinya antara penjual dan pembeli boleh
memili akan melanjutakan jual beli atau membatalkannya selama keduanya masih dalam
satu tempat atau majelis.
Khiyar
majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli semenjak dilangsungkannya
akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan
kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak
khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang di antara keduanya
menggugurkan hak khiyarnya, sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah saw bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli,
maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum
berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak
khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan hak
khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan
jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang
di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah
terjadi (juga).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 332 no: 2112, Muslim 1163
no: 44 dan 1531, dan Nasa’i VII: 249).
Dan haram meninggalkan majlis kalau khawatir
dibatalkan:
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari
datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak
khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka
seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir
dibatalkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2895, ‘Aunul Ma’bud IX: 324
no: 3439 Tirmidzi II: 360 no: 1265 dan Nasa’i VII: 251).
·
Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang didalamnya
disyaratkan sesuatu baik oleh penjual dan pembeli, seperti seseorang berkata
“saya jual rumah ini dengan harga seratus juta rupiah dengan syarat khiar
selama tiga hari.
Dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw Beliau
bersabda, “Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar
dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya dengan akad
khiyar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 326 no: 2107, Muslim III: 1163 no:
1531 dan Nasa’i VII: 248).
·
Khiyar ‘aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan
kesempurnaan benda-benda yang dibeli.
Yaitu jika seseorang membeli barang yang
mengandung aib atau cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si
pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan
tersebut kepada si penjualnya.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda “Barangsiapa membeli seekor kambing yang diikat teteknya, kemudian memerahnya,
maka jika ia suka ia boleh menahannya, dan jika ia tidak suka (ia kembalikan)
sebagai ganti perahannya adalah (memberi) satu sha’ tamar.” (Muttafaqun ‘alaih:
Fathul Bari IV: 368 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1158
no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: no: 1524, ‘Aunul Ma’bud
IX: 312 no: 3428 dan Nasa’i VII: 253).
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw. Sabda
beliau, “Janganlah kamu mengikat tetek unta dan kambing, siapa saja yang
membelinya dalam keadaan ia demikian, maka sesudah memerahnya ia berhak memilih
di antara dua kemungkinan, yaitu jika ia suka maka ia pertahankannya dan jika
ia tidak suka maka ia boleh mengembalikannya (dengan menambah) satu sha’
tamar.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 7347, Fathul Bari IV: 361 no: 2148, ‘Aunul
Ma’bud IX: 310 no: 3426 dengan tambahan pada awal kalimat, dan Nasa’i VII:
253).
3. Ijarah
a. Pengertian Ijarah
Ijarah berasal
dari bahasa Arab yang artinya upah atau imbalan.
Definisi ijarah
menurut ulama mazhab Syafi’i adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat
yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah
(memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu
memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan
dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
Secara bahasa ijarah digunakan sebagai
nama bagi al-ajru (الأجر
) yang berarti “imbalan terhadap suatu pekerjaan” (الجزاء على العمل) dan “pahala” (الثواب
). Asal katanya adalah: أجر- يأجر dan jamaknya adalah أجور.[1]
Wahbah al-Zuhaily menjelaskan ijarah menurut bahasa yaitu: بيع المنفعة
yang berarti jual beli manfaat.[2] Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk
kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa,
kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh kuli dan lain
sebagainya. Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah:
الإجارة
مشتقة من الأجر وهو العواض، ومنه سمى الثواب أجرا[3]
Artinya: ”Ijarah di ambil dari kata
“Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala juga dinamakan upah”.
Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan :
15
الإجارة
في اللغة هي مصدر سماعي لفعل أجر على وزن ضرب وقتل فمضارعها يأجر وأجر بكسر الجيم وضمها
ومعنها الجزاء على العمل[4]
Artinya : “Ijarah menurut bahasa
merupakan mashdar sima’i bagi fi’il
“ajara” setimbang dengan kata “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya
ya’jiru dan ajir(dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan
atas suatu pekerjaan”.
Kemudian Abi Yahya Zakaria juga
mengemukakan :
Artinya : “Ijarah secara bahasa disebut
upah”
Berdasarkan defenisi di atas maka secara
etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu.
Secara terminologi pengertian ijarah
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di bawah ini:
Menurut Ulama Syafiiyah
عقد
على منفعة مقصودة معلو مة قا بلة للبذل والإ با حة بعوض معلوم[6]
Artinya: “Akad atas suatu manfaat yang
diketahui kebolehannya dengan serah terima dan ganti yang diketahui manfaat
kebolehannya”.
Menurut Ulama Hanafiyah
عقد
على المنافع بعوض[7]
Artinya: ”Akad terhadap suatu manfaat
dengan adanya ganti”. Menurut
Ulama Malikiyyah
تمليك
منافع شيء مباحة مدة معلومة[8]
Artinya: ”Ijarah adalah menjadikan milik
suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu”.
Menurut Sayyid Sabiq
وفى الشرع عقد على المنفعة بعوض[9]
Artinya:
”Ijarah secara Syara’ ialah akad terhadap suatu manfaat dengan adanya
ganti”.
Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab
diatas tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah, tetapi
dapat dipahami ada yang mempertegas dan
memperjelas tentang pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan
jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya
pemindahan kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam
defenisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab di atas maka dapat dipahami
bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:
·
Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak yang
ditandai dengan adanya ijab dan kabul
·
Adanya imbalan tertentu
·
Mengambil manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh untuk
bekerja.
b. Dasar Hukum Ijarah
a. Al-Qur’an yang
dijadikan dasar hukum ijarah ialah Q.S. Az-Zukhruf, 43: 32, At-Talaq, 65: 6 dan
Q.S Al-Qasas, 28: 26.
1)
Surat al-Thalaq ayat
6:
Artinya: “Kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka berikanlah kepada mereka
upahnya”.
Ayat di
atas menjelaskan bahwa apabila orang tua menyuruh orang lain untuk menyusukan
anak mereka, maka sebaiknya diberikan upah kepada orang yang menyusukan anak
itu.
2)
Surat al-Baqarah ayat 233:
Artinya: “Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dari ayat di
atas dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama sekali kalau
memberikan upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak yang bukan
ibunya. Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu kepada
perempuan lain yang disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui jalan
musyawarah. Jika telah diserahkan kepada perempuan lain maka biayanya yang
pantas menurut kebiasaan yang berlaku, hendaklah ditunaikan
3)
Surat az-Zukhruf ayat 32:
Artinya: “Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan”.[13]
Ayat di
atas menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan sebagain manusia atas
sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu antara yang satu dengan yang
lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah
(upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat
mempergunakan sebagian yang lain.
4)
Surat al-Qashas ayat 26-27:
Artinya: “Salah seorang dari
kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.Berkatalah dia
(Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan
jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu,
Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang- orang yang baik”.[14]
Dari ayat
di atas dapat dipahami bahwa di dalam ayat di atas disyaratkan adanya imbalan
atau upah mengupah atau memperkerjakan orang lain yang punya keahlian
dibidangnya.
b. Landasan Sunnah
Para ulama
mengemukakan alasan kebolehan ijarah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai
berikut:
عن عائشة رضي الله عنها: واستأجرالنبى صلى
الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل، ثم من بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا الخريت:
الماهر بالهداية قد غمس يمين حلف فى آل العاص بن وائل، وهو على دين كفار قريش، فأمناه،
فدفعا إليه راحلتيهما، ووعداه غار ثور بعد ثلاث ليال، فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال
ثلاث فارتحلا، وانطلق معهما عامربن فهيرة، والدليل الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو
طريق الساحل (رواه البخاري)[15]
Artinya: “Dari Aisyah R.A, ia
menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai
penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia
pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan
dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan
kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya
menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi
keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada hari di malam ketiga, kemudian keduanya
berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan
dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur
pantai”(H.R. Bukhari).
Dalam
hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau
ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi
Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa
orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi
Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam
yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan
bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa orang-orang musyrik saat darurat
maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan martabat mereka.[16]
Kemudian hadist yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي
الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه و
سلم واعطى الحجام اجره (رواه البخاري
)[17]
Artinya: ”Hadist dari Ibnu
Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas r.a
dia berkata bahwa Nabi Saw pernah
mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.Bukhari)
Dari
hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap
orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi
membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ
يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)[18]
Artinya : ”Dari Abdillah bin
Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum
keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah ) .
Hadits di
atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang
dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu
hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai
dilakukan.
c. Ijma’
Mengenai
kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang
membantah kesepakatan (ijma’) ini,
sekalipun ada diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak
ditanggapi [19]. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang
tujuannya untuk kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan
kegiatan ijarah.
c. Macam-macam Ijarah
Dari segi objeknya, akad ijarah dibagi
para ulama fiqih kepada dua macam:
Ijarah yang bersifat manfaat (sewa).
Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan
kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk
digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek
sewa-menyewa.
Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa).
Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk melakukan
suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya boleh
apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh pabrik,
tukang sepatu, dan tani.
Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah)
terbagi kepada dua yaitu:
a. Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang
pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang
yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga.
b. Ijarah Musytarak
Yaitu ijarah yang dilakukan secara
bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan
orang lain. Contohnya para pekerja pabrik..
Adapun perbedaan spesifik antara jasa dan
sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan karakteristik jasa
yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan yang sama, juga
disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad dilangsungkan, sama
seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.
d. Rukun dan Syarat
Ijarah
1. Kedua orang yang
bertransaksi (akad) sudah balig dan berakal sehat.
2. Kedua belah pihak
tsb bertransaksi dengan kerelaan (Q.S. An-Nisa’,4: 29).
3. Barang yang akan
disewakan (objek ijarah) diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
4. Objek ijarah bisa
diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5. Objek ijarah
merupakan sesuatu yang dihalalkan syara’.
6. Hal yang disewakan
tidak termasuk suatu kewajiban bagi penyewa.
7. Objek ijarah adalah
sesuatu yang biasa disewakan.
8. Upah/sewa dalam
transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.
e. Sifah Akad/Transaksi
Ijarah
Jumhur ulama berpendapat bahwa
akad/transaksi ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat, atau barang
tersebut tidak bisa dimanfaatkan.
f.
Tanggung Jawab Orang yang Diupah/Digaji
Ulama
fikih sepakat bila objek yang dikerjakan rusak di tangan pekerja bukan karena
kelalaiannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka pekerja tidak dapat dituntut
ganti rugi.
Penjual jasa bila melakukan suatu kesalahan
sehingga benda orang yang sedang diperbaikinya mengalami kerusakan bukan karena
kelalaian maka menurut Imam Abu Hanifah, Zufar bin Hudailbin Qais al-Kufi
(wafat 158 H/775 M), ulama Mazhab Hambali dan Syafi’i tidak dapat dituntut
ganti rugi.
g. Berakhirnya Akad
Ijarah
Akan berakhir apabila:
(1) Objek ijarah hilang/musnah.
(2) Habisnya tenggang waktu yang disepakati
dalam akad/transaksi ijarah.
Para ulama fiqih menyatakan bahwa akad
ijarah akan berakkhir apabila:
Ijarah
berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta dengan
harta. Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.[44]
Manfaat
yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai kecuali ada uzur
atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka penyewa wajib
mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah
pertanian yang di tanami dengan tanaman, maka boleh ditangguhkan sampai buahnya
bisa dipetik dengan pembayaran yang sebanding dengan tenggang waktu yang di
berikan.[45]
Menurut
Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan mendadak
terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk berdagang
kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah bahwa
hilangnya sesuatu yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan
hilangnya barang yang memilki manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama,
sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad (uzur)
seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya hilang.[46]
Menurut
Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad ijarah, maka
tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal
dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh
diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua belah pihak
yang berakad.[47]
Sifat
ijarah adalah mengikat para pihak yang berakad. Mengikat yang dimaksud disini
adalah apakah akad ijarah bisa di batalkan (fasakh) secara sepihak atau tidak.
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad yang lazim (mengikat) yang boleh dibatalkan.
Menurut mereka ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan
tidak dapat dialihkan kepada ahi waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu
merupakan perpindahan barang yang disewakan dari satu pemilikan kepada
pemilikan yang yang lain. Karena itu, akad tersebut harus batal. Sedangkan
jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat
dibatalkan dan dapat diwariskan. Adapun alasannya adalah bahwa akad ijarah itu
merupakan akad imbalan. Karena itu, tidak menjadi batal karena meninggalnya
salah satu pihak seperti dalam jual beli
Rukun ijarah ada 4, yaitu:
a.
Orang yang berakad
b.
Sewa/imbalan
c.
Manfaat
d.
Sigat/ijab kabul
h. Anjuran Segera
Membayar Upah
Dari Ibnu Umair ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya!” (Shahih:
Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no: 2443).
i.
Dosa Orang yang Tidak Membayar Upah Pekerja
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau
bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat
(kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang
mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki
yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang
laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas
dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:
1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227).
j.
Perbuatan yang Tidak Boleh Diambil Upahnya dalam Mata
Pencaharian
Allah swt menegaskan :
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian
karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun Lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (QS an-Nuur: 33).
Dari Jabir Abdullah bin Ubai bin Salul
mempunyai dua budak perempuan, yang satu bernama Musaikah dan satunya lagi
bernama Umaimah. Kemudian dia memaksa mereka agar melacur, lalu mereka
mengadukan kasus itu kepada Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu memaksa budak-budak wanitamu untuk melacur maka adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 2155 dan Muslim2
IV: 3320 no: 27 dan 3029).
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra bahwa Rasulullah
saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah tukang tenung. (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 237, Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud
IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan
Nasa’i VII: 309).
Dari Ibnu Umar ra ia berkata, “Nabi saw
melarang upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 939,
Fathul Bari IV: 461 no: 2284, ‘Aunul Ma’bud IX: 296 no: 3412, Tirmidzi II: 372
no: 1291 dan Nasa’i VII: 289).
4. Jialah (Sayembara)
Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang
dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.
Menurut Istilah syara’: Tindakan
penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah
diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan .[1]
Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan
barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya seseorang
kehilangan kuda, dia berkata, ”Barangsiapa yang mendapatkan kudaku dan dia
kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
1. Rukun ji’alah
1. Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti
izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.
2. Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang
menjanjikan upahnya tersebut boleh orang yang kehilangan itu sendiri atau orang
lain.
3. Pekerjaan(mencari barang yang hilang).
4. Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang
yang tertentu.
Jika orang yang kehilangan itu berseru
kepada masyarakat umum, ” Siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri uang
sekain.” kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya
mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat
antara keduanya.
2. Yang membatalkan ji’alah
Masing-masing pihak boleh
menghentikan(membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya
orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja.
Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang
bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.[2]
3. Hukum Ji’alah
Dasar hukum ji’alah adalah Boleh, sebagai
mana firman Allah dan Sabda Nabi SAW.
Firman
Allah :
Artinya: ”Dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperolaeh bahan makanan(seberat) beban unta.”(Q.S Yusuf : 72)
Persyaratan tersebut seperti upah.
Persyaratan harus jelas, sebab sebagai ganti(upah) atau sebagai ongkos. Tidak
boleh samar-samar, seperti: siapa yang mengembalikan budakku yang lari, maka ia
akan saya beri pakaian.
5. Kerja Sama dalam Perekonomian Islam
1. Syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya : persekutuan,
kerjasama atau bersama-sama. Menurut istilah syirkah adalah suatu akad dalam
bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam bidang modal atau jasa,
untuk mendapatkan keuntungan.
Suatu perjanjian kerjasama
antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa dengan syarat bagi hasil
keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya. Syirkah berarti perseroan/persekutuan,
yaitu persekutuan antara 2 orang/lebih yang bersepakat untuk bekerjasama dalam
suatu usaha, yang keuntungan/hasilnya untuk mereka bersama. (Q.S. Al-Ma’idah,
5: 2)
Syirkah
atau kerjasama ini sangat baik kita lakukan karena sangat banyak manfaatnya,
terutama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Kerjasama itu ada
yang sifatnya antar pribadi, antar group bahkan antar Negara.
Dalam kehidupan masyarakat, senantiasa terjadi
kerjasama, didorong oleh keinginan untuk saling tolong menolong dalam hal
kebaikan dan keuntungan bersama.
Firman Allah SWT. :
وَتَعَاوَنُوْاعَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوىوَلَاتَعَاوَنُوْعَلَىاْلاِثْمِ
وَاْلعُدْوَانِ …
“Dan
tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah :2).
2.
Macam-Macam
Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua yaitu
:
Syirkah amlak (Syirkah kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud karena
wasiat atau kondisi lain yang menyebabkan kepemilikan suatu asset oleh dua
orang atau lebih.
Syirkah uqud (Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud ini
terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih kerjasama dalam syarikat modal
untuk usaha, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Syirkah uqud dibedakan
menjadi empat macam :
a. Syirkah ‘inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang
permodalan sehingga terkumpul sejumlah modal yang memadai untuk diniagakan
supaya mendapat keuntungan.
Sabda Nabi SAW. dari Abu Hurairah ra. :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م قَالَ الله ُتَعَالَى:اِنَّ الله
َيَقُوْلُ اَنَاثَالِثُالشَّرِيْكَيْنِ مَالمَ ْيَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَاِذَاخَانَهُ
خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا (رواه ابو داودوصححه
الحاكم)
Rasulullah SAW. bersabda : Firman Allah SWT. Saya adalah pihak ketiga
dari dua orang yang berserikat selama
seorang diantaranya tidak mengkhianati yang lain. Maka apabila berkhianat salah
seorang diantara keduanya, saya keluar dari perserikatannya itu” (HR. Abu Daud
dan Hakim menshohihkannya).
Sebagian fuqaha, terutama fuqaha Irak berpendapat bahwa
syirkah dagang ini disebut juga dengan qiradl.
b. Syirkah a’mal (serikat kerja/
syirkah ‘abdan)
Syirkah
a’mal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang bergerak dalam
bidang jasa atau pelayanan pekerjaan dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.
c. Syirkah Muwafadah
Syirkah
Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih, dengan syarat kesamaan
modal, kerja, tanggung jawab, beban hutang dan kesamaan laba yang didapat.
d. Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau
lebih yang memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis.
3.
Rukun dan Syarat
Syirkah
Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan sebagai
berikut :
Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat, atas
kehendak sendiri dan baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan
mengetahui pokok-pokok perjanjian.
Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
- Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
- Yang disyarikat kerjakan (obyeknya) tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’at Islam.
Sighat, dengan Syarat : Akad
kerjasama harus jelas sesuai dengan perjanjian.
Syarat dan
Rukun Syirkah
a. Baligh ,berakal sehat dan merdeka
b. Modal yang dihasilkan hendaknya jelas
c. Harus mencampur harta kedua belah pihak
d. Untung dan rugi diatur dengan perbandingan
modal
e. Anggota yang bersyikah
f. Pokok perjanjian
g.
Sighat
4.
Hukum dan Hikmah Syirkah
Pada prinsipnya bahwa hukum syirkah adalah mubah/boleh
dan sah-sah saja. Namun
apabila terjadi penyimpangan oleh anggota syarikat, maka hal ini sudah
tidak benar. Adapunmengenai syirkah kerja menurut madzhab Syafi’i tidak sah dan
tidak boleh.Mengenai hikmah syirkah dapat dikemukakan disini sebagai berikut :
a. Dapat meningkatkan daya saing produksi, karena ada tambahan modal
yang besar.
b. Dapat meningkatkan hubungan kerja sama antar kelompok sosial dan
hubungan bilateral
antar negara.
c. Dapat memberi kesempatan kepada pihak yang lemah ekonominya untuk
bekerjasama
dengan pihak ekonomi yang lebih kuat
d. Dapat menampung tenaga kerja, sehingga akan dapat mengurangi
pengangguran.
6. Mudharabah
1. Pengertian
Mudharabah
Menurut
bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan
perjalanan untuk berniaga.
Allah swt
berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah
disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong),
karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan
ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah
akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi
modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi
antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III:
212).
2. Pensyari’atan
Mudharabah
Al-Ijma’
hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para ulama’ sepakat atas ukan qiradh,
pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam bentuk
Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh memberi
syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang telah
disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya segala sesuatunya sudah menjadi
clear, jelas.”
Bentuk kerjasama model ini sudah pernah
dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya bahwa ia
pernah bercerita, “Dua anak Umar bin Khattab ra, Abdullah dan Ubaidullah keluar
pergi bersama pasukan menuju negeri Irak. Tatkala mereka kembali dari sana,
mereka melewati Abu Musa al-Asy’ari yang sedang menjabat sebagai Amir, gubernur
di Bashrah. Setelah ia mengucapkan selamat datang dan menyambutnya, kemudian
berkata kepada mereka berdua, “Kalau saya tetapkan suatu urusan untuk kalian
yang sangat bermanfa’at bagi kalian, tentu aku mampu menetapkannya.” Kemudian
ia melanjutkan, “Baik, di sini ada sebagian harta kekayaan Allah. Saya
bermaksud hendak mengirimnya (melalui kalian) kepada Amirul Mukminin, yaitu
saya pinjamkan kepada kalian berdua, lalu (boleh) kalian belikan barang
dagangan dari Irak ini, kemudian dijual di Madinah, lalu modal pokoknya kalian
serahkan kepada Amirul Mukminin, sedangkan labanya untuk kalian berdua.” Mereka
berdua menjawab, “Kami ingin melaksanakannya.” Setelah harta negara itu
diserahkan kepada keduanya, kemudian ia menulis sepucuk surat kepada Amirul
Mukminin Umar bin Khattab agar menerima harta itu dari mereka berdua. Tatkala
mereka tiba (di Madinah), maka mereka
mendapatkan keuntungan. Kemudian ketika keduanya menyerahkan harta negara itu
kepada Umar, maka Umar bertanya kepada mereka, “Apakah setiap pasukan mendapatkan
pinjaman seperti yang dipinjamkan kepada kalian berdua?” Jawab mereka, “Tidak.”
Kemudian Umar bin Khattab menyatakan, “Karena dua anak Amirul Mukminin, maka ia
(Abu Musa) telah meminjamkan harta negara kepada kalian berdua! Serahkanlah
kepada negara modal dan keuntungannya!” Adapun Abdullah diam membisu, sedangkan
Ubaidullah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak sepatutnya engkau menetapkan seperti
ini? (Karena) andaikata modal ini berkurang atau musnah, sudah barang tentu
kamilah yang bertanggung jawab untuk menggantinya.” Kemudian Umar menyatakan,
“Kalian harus mengembalikan seluruhnya!” Kemudian Abdullah diam seribu bahasa,
lalu Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka seorang laki-laki yang termasuk
rekan dekat Umar berkata, “Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya kalau kau
jadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar menjawab, “Kalau begitu,
kujadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar mengambil modalnya dan
separuh dari keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan Ubaidullah, dua anak Umar
bin Khattab mendapatkan separuh dari keuntungan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V:
291, Muwaththa’ Imam Malik halaman 479 no: 1385 dan Baihaqi VI: 110).
3. Orang yang
Mengembangkan Modal Harus Amanah
Mudharabah
hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat),
dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena
sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para
ulama’ sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang modal melakukan
jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia
harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).
Dari Hakim bin
Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang
yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata),
“Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan
engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah
yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut,
maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293,
Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111).
7. Musaqat
1. Pengertian Musaqat
Musaaqat
adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup
memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya,
misalnya separuh atau semisalnya.
2. Pensyari’atan
Musaqat
Dari Ibnu
Umar ra, bahwa Rasulullah saw bekerjasama dengan penduduk Khaibar dengan syarat
mereka mendapat bagian dari hasil buah kurmanya atas tanaman lainnya.
(Muttafaqun’alaih).
Dari Abu Hurairah ra, bahwa orang-orang Anshar
berkata kepada Nabi saw “Bagilah pohon kurma itu antara kami dan saudara-saudara
kami.” (Lalu) Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian mereka berkata, “Serahkan
kepada kami untuk menggarapnya, sedang hasilnya kami atur bersama.” Mereka pun
berkata, “Kami akan bersikap sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami ta’at.”
(Muttafaqun’alaih: Irwa-ul Ghalil no: 1471 dan Fathul Bari V: 8 no: 2325).
8. Muzaraah dan
Mukhabarah
Dalam bahasa Indonesia arti dari
muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap
pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu
pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut
mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman),
maksudnya adalah modal (al-hadzar ). Makna yang pertama adalah makna yang majaz
dan makna yan kedua adalah makna yang hakiki.
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna
yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi.
Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd
al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa definisi
para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama
Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang
petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam
Syafi’I mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan
hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah 2 atau
lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahawa
arti dari Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang
lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua,
sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung
orang yang mengerjakan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa
munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda
tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan
mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan
ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi
Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi
ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
1. Pengertian Muzaraah
Kata
muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya.
Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah
kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
2. Pengertian
Mukhabarah
Mukhabarah
yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari pihak
petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil.
Perbedaannya hanya terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari
pemilik tanah maka dalam mukhabarah dari pihak penggarap.
3. Hukum Muzaraah dan
Mukhabarah
Hukum asal
muzarah dan mukhabarah adalah mubah.Namun bila dikhawatirkan ada kecurangan
dari salah satu pihak , maka sebaiknya tidak dilaksanakan.
4. Zakat hasil Muzaraah
dan Mukhabarah
Jika
berasal dari siapa asal benih tanaman,maka dalam muzarah yang wajib zakat
pemilik tanah.Karna dia yang menenam,sedangkan penggarap hanya mengambil upah
kerja,sedangkan mukhabarah sebaliknya.Jika berasal dari keduanya wajib keduanya
zakat.
5. Pensyari’atan
Muzaraah dan Mukhabarah
Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah
mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat
bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari
VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391,
Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim
meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke
Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di
antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik,
Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar,
Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).
6. Penanggung Modal
Tidak mengapa modal mengelola tanah
ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau
ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari
menuturkan, “Umar pernah n orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan;
jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika
mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih
lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan, tidak mengapa jika tanah
yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua
menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini
juga menjadi pendapat az-Zuhri.”
7. Yang Tidak Boleh
Dilakukan dalam Muzar’aah
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan
sebidang tanah tertentu ini tanah dan
sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak
boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin
Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa
mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang
tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh
si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin
Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka
jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata,
“Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai
pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka
tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul
Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa
perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya
pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas
dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah
orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di
pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu
yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini
musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh
sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti
dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim
III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII :
43).
Para pemilik tanah dapat
memanfaatkan tanahnya sbb:
a.
Ditanami untuk kepentingan keluarga dan disedekahkan
b.
Meminjamkan kepada fakir miskin.
c.
Digarap melalui muzara’ah, mukharabah, dan musaqah.
Muzara’ah: paruhan hasil sawah antara
pemilik dan penggarap, benih dari pemilik.
Mukharabah: benih dari penggarap.
Ketentuan:
+
Pemilik dan penggarap balig, akal sehat, dan jujur.
+
Digarap betul-betul.
+
Ditentukan lamanya masa penggarapan.
+ Besarnya paruhan ladang untuk pemilih dan
penggarap ditentukan berdasar musyawarah.
+
Pemilik dan penggarap menaati ketentuan-ketentuan.
9. Salam
1. Pengertian Salam
Kata salam,
huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf.
Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang secara ijon
dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka. (Fiqhus
Sunnah III: 171).
2. Pensyari’atan Salam
Allah swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.” (QS al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas ra berkata, “Saya bersaksi
bahwa jual beli secara ijon yang jangka waktunya ditentukan sampai waktu
tertentu, benar-benar telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan padanya Dia
membolehkannya.” Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:
1369, Mustadrak Hakim II: 286 dan Baihaqi VI: 18).
Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia berkata, “Nabi saw
datang di Madinah, sedang mereka biasa membeli kurma secara ijon, dua tahun dan
tiga tahun, maka tentukanlah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu, buat
satu masa tertentu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV: 429 no: 2240, Muslim
III: 1226 no: 1604, Tirmidzi II: 387 no: 1325, ‘Aunul Ma’bud IX: 348 no: 3446,
Ibnu Majah II: 765 no: 2280 dan Nasa’i VI: 290).
3. Jual Beli Secara
Salam dengan Orang yang Tidak Punya Modal
Dalam jual beli secara ijon tidak
dipersyaratkan pihak penjual secara ijon harus sebagai pemilik penuh.
Dari Muhammad bin Abi al-Mujahid, ia
berkata: Saya pernah diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk
menemui Abdullah bin Abi Aufa ra, maka mereka berdua berkata, “Tanyakanlah
kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah para sahabat Nabi saw pada masa Beliau saw
biasa membeli hinthah secara ijon?” (Setelah ditanya), Abdullah bin Abi Aufa
menjawab, “Dahulu kami biasa membeli hinthah, sya’ir dan minyak kepada petani
dari Syam secara ijon dengan takaran tertentu dan sampai waktu tertentu
(pula).” Saya bertanya, “Kepada orang yang punya modal pokok?” Jawab Abdullah,
“Pada waktu itu, kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.” Kemudian saya
diutus oleh Abu Burdah menemui Abdurrahman bin Abza, “Adalah para sahabat Nabi
saw biasa membeli barang secara ijon pada masa Beliau saw namun kami tidak
pernah bertanya kepada mereka, apakah mereka punya ladang ataukah tidak.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1370, Fathul Bari IV: 430 no: 2244 dan lafadz ini
bagi Imam Bukhari, ‘Aunul Ma’bud IX: 349 no: 3447, Nasa’I VII: 290 dan Ibnu
Majah II: 766 no: 2282).
BAB IV
PEMBAHASAN
MANFAAT
DAN HIKMAH DARI SETIAP KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A. Hikmah Jual Beli
Maha suci Allah dalam menjadikan setiap
peraturan ciptaannya penuh dengan hikmah, begitu juga dengan pensyariatan jual
beli ini. Di sini saya akannyatakan hikmah pensyariatan jual beli dari 3 sudut
yaitu:
1. Individu
Penjual
(a) Mendapat rahmat dan keberkataan daripada Allah
dengan mengikut apa yang telah disyariatkan
(b) Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya
khianat mengkhianati antara satu sama lain.
Pembeli
(a) Berpuas hati di atas urusniaga yang
dijalankan kerana peniga menjalankan urusan mengikut syariat islam.
(b) Mendapat keredhaan dan rahmat dari Allah di
atas vvvurusniaga yang berlandaskan syariat Islam
(c)
Terhindar daripada siksaan api neraka.
2. Masyarakat
(a)
Menyenangkan manusia bertukar-tukarfaedah harta dalam kehidupan seharian
(b)
Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh mencerobohi dalam usaha
memiliki harta
(c)
Menggalakkan orang ramai supaya hidup berperaturan, bertimbang rasa, jujur dan
ikhlas.
(d)
Menata struktur kehidupan masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
(e)
Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
3. Negara
(a)
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara ke tahap yang lebih baik.
(b)
Dapat menarik pelabur asing untuk melabur dalam ekonomi negara.
(c)
Menggalakkan persaingan ekonomi yang sihat sesama negara islam
B. Hikmah Khiyar
1.
Dapat membuat aqad jual beli berlangsung prinsip Islam.
2. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam
jual beli.
3. Terhindar dari unsur penipuan.
C. Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam
bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan
manusia.[56] Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan
keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan
atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Adapun
hikmah diadakannya ijarah antara lain:
1. Membina ketentraman
dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu membina
kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian
dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang
memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup
terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.
Dengan transaksi upah-mengupah dapat
berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena
masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing
individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka
masyarakat itu akan tentram dan aman.
2. Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim
adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan
tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka
kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
Artinya: ”Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”.[58]
3. Memenuhi hajat hidup
masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya
tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik
yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah
merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
4. Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat
menolak kemungkaran yang kemungkinan
besar akan dilakukan oleh yang menganggur.[59]Pada intinya hikmah ijarah yaitu
untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
D. Hikmah Jialah
Berlomba dalam kebaikan,menemukan orang
yang berprestasi,dan menumbuhkan semangat percaya diri.
E. Hikmah Syirkah
1. Terciptanya kekuatan
dan kemajuan khususnya di bidang ekonomi.
2. Pemikiran untuk
kemajuan perusahaan bisa lebih mantap, karena hasil pemikiran dari banyak
orang.
3. Semakin terjalinnya
rasa persaudaraan dan rasa solidaritas untuk kemajuan bersama.
4. Menambah lapangan
pekerjaan.
F. Hikmah Mudharabah
a. Mewujudkan
persaudaraan dan persatuan
b. Mengurangi/menghilangkan
pengangguran
c. Memberikan
pertolongan pada fakkir miskin untuk dapat hidup mandiri
G. Hikmah Musaqat
Terwujud kerjasama antara si kaya dan si
miskin, mengikuti sunah rasulullah, memberikan lapangan kerja mengikuti sunah
rasullah,dan menghindarkan penipuan dar pemilik kebun.
H. Hikmah Muzaraah dan
Mukhabarah
Memberi pertolongan kepada penggarap untuk
mempunyai penghasilan,harta tidak beredar diorang kaya saja,dan mengikuti sunah
rasullah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan
agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman
dan rukun Islam. Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan
usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam
memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau
akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di
bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya transaksi jual beli. Macam-macam penerapan
transaksi ekonomi dalam Islam :
1. Jual Beli : Jual
beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang
menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli
barang yang dijual).
2. Khiyar : Khiyar
ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya
atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang.
3. Ijarah : Ijarah,
menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik
dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih
ialah pemberian hak pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV:
439).
4. Jialah : Ji’alah
menurut Bahasa: “Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang
akan dia kerjakan”.Menurut Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah
pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan
yang ditentukan.
5. Syirkah : Syirkah
adalah Suatu perjanjian kerjasama antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha
modal/jasa dengan syarat bagi hasil keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya.
6. Mudharabah : Menurut
istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak,
yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya
dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan
ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
7. Musaqat : Musaaqat
adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup
memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya,
misalnya separuh atau semisalnya.
8. Muzara’ah : Kata
muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya.
Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah
kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
9. Mukhabarah :
Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari
pihak petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil.
Perbedaannya hanya terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari
pemilik tanah maka dalam mukhabarah dari pihak penggarap.
10. Salam : Kata salam,
huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf.
Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang secara ijon
dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka. (Fiqhus
Sunnah III: 171).
B. Saran
Sebaiknya kita tidak hanya menjalankan
kegiatan ekonomi secara nasionalis saja . Tetapi kita juga perlu menjalankan
kegiatan ekonomi secara Islami yang telah diatur di dalam al-qur’an,sunah
Rasulullah, dan ij’ma . Mempraktekannya dalam kegiatan perekonomian sehari-hari
dengan syarat-syarat dana rukun-rukunnya agar mendapat rahmat,pahala, dan ridho
dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR
PUSTAKA
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih
Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 662 - 665.
Diadaptasi dari
'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 681 - 687.
[1] Abu Amar, Drs. Imron. Terjemah fathul qarib, Menara
Kudus, Kudus: 1983 Hal. 302
[2] Rasjid, H. Sulaiman. Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo,
Bandung: 1994 Hal. 306
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih
Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 655-662.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih
Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 666 - 668.
Abu Amar, Drs. Imron. Terjemah fathul qarib, Menara Kudus,
Kudus: 1983 Hal. 302
Rasjid, H. Sulaiman.
Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung: 1994 Hal. 306
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih
Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 680 - 681.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih
Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 689 - 692.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih
Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 679 - 680.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih
Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 677 - 679.
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih
Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 692 - 694.
trimakasi informasinya :) artikelnya lengkap.
BalasHapuskreatif banget :)
BalasHapussaya lagi nyari perbandingan ekonomi islam dan kapitalis, help..ada referensi? ASAP :D haha
BalasHapusAssalamualaikum. Subhanallah. Terima Kasih atas Kelengkapan Makalah yang ukhti berikan . :)
BalasHapusWa'alaikumsalam, Alhamdulillah , semoga artikel ini bisa memberi manfaat :-)
BalasHapusSyukron katsiron :)
BalasHapusAlhamdulillah barokallah kak :)
BalasHapusThanks